Senin, 05 Juli 2010

Mengejar Sampai Stuttgart


Stuttgart, Oktober 2000. Nunus Supardi, mantan Direktur Purbakala, masih ingat bagaimana warga kota itu begitu antusias menyambut pelelangan harta karun dari Indonesia. Ribuan porselen antik dari kapal Cina Dinasti Qing (Mancuria) bernama Tek Sing yang karam pada 1822 di Selat Gelasa, antara Bangka dan Belitung, dilego kepada masyarakat luas.

Berbulan-bulan sebelum acara, masyarakat Stuttgart sudah diajak berimajinasi. Sebuah replika besar kapal Tek Sing dibuat dan dipasang di tengah keramaian Stasiun Stuttgart. Der Spiegel, majalah Jerman ternama, "memanaskan" suasana dengan menyebut Tek Sing "Titanic abad ke-19".

"Kami datang dari Jakarta. Bersama saya, ada Dr Syafri Burhanudin dari Departemen Kelautan; Pak Beny Mamoto dari kepolisian; dan Ibu Widiati, ahli keramik Kementerian Kebudayaan."

Mereka adalah tim pemburu yang dikirim negara. Awalnya, menurut Nunus, adalah surat dari KBRI Australia ke Departemen Luar Negeri yang diteruskan ke Departemen Pendidikan dan Kebudayaan serta Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan. Surat itu berisi laporan Australian Federal Police, yang menyatakan ada 43 kontainer berisi porselen antik Cina dari perairan Belitung yang masuk ke Pelabuhan Adelaide, tanpa surat izin pemerintah Indonesia.

Pemerintah bergerak cepat. Insting pemerintah waktu itu: Michael Hatcher-"perompak harta karun"-beraksi lagi. Pada 1985-1986, Hatcher menjarah isi perut kapal Geldermalsen milik VOC yang tenggelam di Karang Heluputan, Tanjung Pinang, pada 1750. Ia mendapatkan 126 batangan emas lantakan serta 160 ribu keramik Dinasti Ming (1368-1644) dan Qing (1644-1911). Pada 1986, barang itu dilepas di Balai Lelang Christie, Amsterdam, dan jumlah yang didapat sampai 17 juta euro. Pemerintah Indonesia sama sekali tidak kebagian jatah.

Pemerintah tidak mau kecolongan untuk kedua kalinya. Wakil pemerintah segera terbang ke Adelaide, sayang di sana 37 kontainer telah dikirim ke Jerman. Pemerintah mendapat kabar bahwa di Stuttgart, keramik-keramik itu bakal dilelang oleh Balai Lelang Nagel. Pemerintah mengabari Balai Lelang Nagel bahwa barang-barang itu ilegal.

Mendengar lelang bisa gagal, pihak Hatcher berusaha melobi pemerintah Indonesia. Hatcher mengirim ahli hukumnya, Peter Church, ke Jakarta. "Kami berdebat sengit dengan Peter Church," kata Nunus. Meskipun demikian, lelang tak bisa digagalkan karena pemerintah Stuttgart telah telanjur berpromosi besar-besaran. Akhirnya disepakati bahwa Indonesia harus diberi jatah. Disepakati pembagian uang 50-50 persen dari barang yang laku dilelang. Dan 1.500 porselen terbagus bisa dibawa pulang.

"Persoalannya, porselen dan keramik sudah masuk katalog dan sudah terbuka untuk dibeli publik," kata Nunus. Sebagai konsekuensinya, tim Indonesia tidak bisa begitu saja mengambil porselen yang diminati, tapi harus ikut menjadi peserta lelang.

Nunus ingat bagaimana ia dan anggota tim lainnya terpaksa menjadi bidder. Lelang itu diadakan di Jalan Rosensteinstr. Waktu itu musim dingin. Di sebuah tanah lapang didirikan tenda superbesar. Setiap keramik secara visual dipresentasikan dengan menarik di dua layar raksasa. Porselen itu dilelang per satuan atau per jenis, bukan gelondongan. Para pembeli tidak diharuskan menaruh uang jaminan. Menurut Nunus, masyarakat Stuttgart begitu antusias bersaing memilih barang yang ditawarkan, mulai cepuk, mangkuk, tungku, teko, pasu, vas, tempat lilin, sendok, cangkir, tempayan, tempat jahe yang rata-rata berglasir biru-putih dengan berbagai motif bunga: magnolia, lotus, dan daun bambu, sampai patung kilin singa dari granit.

"Lelang berlangsung dua minggu dari pukul 9 pagi sampai pukul 2 pagi. Peminat bisa mem-bid melalui Internet dan telepon," kata Nunus. Katalog lelang tebal sekali: 1.020 halaman. Di situ sekitar 16.100 barang diberi deskripsi dalam bahasa Jerman dan Inggris.

l l l

Yang juga membuat masyarakat Stuttgart bergairah menghadiri lelang adalah adanya informasi sejarah yang lengkap tentang asal-usul karamnya Tek Sing. Untuk keperluan lelang, Michael Hatcher dan sejarawan Nigel Pickford, misalnya, menerbitkan buku khusus tentang Tek Sing.

Pada 14 Januari 1822-diungkapkan Hatcher-kapal Tek Sing berangkat dari Pelabuhan Kota Amoy, Cina (kini bernama Hsmien), ke Batavia. Kapal itu penuh porselen. Sasaran pembeli mereka adalah bangsawan Jawa atau pedagang Inggris, Swedia, dan Prancis di Batavia. Kapal itu juga memuat 1.600 penumpang asal Fujian yang ingin bekerja di perkebunan gula di Jawa. Masyarakat Fujian dikenal miskin dan tidak sepenuhnya loyal kepada Dinasti Mancuria yang berkuasa sejak 1644. Mereka lebih condong kepada dinasti sebelumnya, Dinasti Ming. Tujuan mereka ke Jawa juga karena di Jawa banyak komunitas Cina yang memegang teguh tradisi Ming dan akan membantu mereka.

Hatcher menulis bukunya berdasarkan catatan saksi mata kapten Inggris bernama James Pearl yang menyelamatkan awak Tek Sing. James Pearl adalah pedagang opium. Dari Kolkata, India, pada 1822, ia memimpin kapal bernama Indiana membawa opium yang hendak dijual ke Batavia. Ia berhenti di Teluk Bayur, Padang. Melewati Padang, ia melihat burung albatross beterbangan. Memasuki Selat Sunda, ia sempat menikam hiu-hiu. Memasuki perairan Selat Gaspar (dekat Pulau Gelasa) antara Bangka dan Belitung, ia terkejut karena ia menyaksikan pecahan-pecahan peti, bambu, payung mengambang, dan orang-orang Cina telanjang di sana-sini dalam kondisi mengenaskan mengapung di laut.

Sekitar 95 orang bisa diselamatkan Kapten James Pearl. Salah satunya bernama Baba Chy. Ia adalah anak seorang pedagang Cina kaya di Batavia. Dari keterangannya itulah bisa diperoleh informasi ribuan pelarian dari Fujian di kapal itu membawa istri dan anak-anak yang masih kecil, dan juga harta benda.

Nunus ingat bagaimana tim Indonesia sadar bahwa mereka akan bersaing keras dengan warga Stuttgart yang tertarik membeli karena unsur tragedi itu. Yang kebagian menentukan adalah arkeolog Widiati. Ia ditugasi menyeleksi barang mana yang paling bagus dari tiap jenis yang dilelang. Widiati ingat tiap malam ia tidak bisa tidur. "Saya belajar terus untuk besok," dia mengenang. Benar, saat lelang, tim Indonesia berjuang keras agar barang-barang porselen terbaik tidak jatuh ke tangan pembeli lain. "Kami terus mengacung, untuk mendapatkan barang yang dipilih sampai enggak ada yang nawar," kata Nunus.

Menurut Widiati, sesungguhnya piring, teko, tempat pembakaran dupa, dan keramik di lelang Stuttgart itu banyak beredar di pasar umum. Namun, karena di baliknya ada kisah yang dramatis, harganya menjadi istimewa. Beberapa guci, vas, dan gentong yang dilelang malah dibiarkan tetap tertempeli binatang mati dan koral-koral. Juga beberapa piring yang rekat karena karang atau piring beserta isinya yang sudah membatu ada yang tetap tidak dibersihkan. "Ini justru unik, menandakan cara memperolehnya dari dasar laut, bukan dari warisan," ujar Widiati, yang sekarang Kepala Subdirektorat Pengendalian Pemanfaatan Peninggalan Bawah Air Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala.

Apakah semua porselen yang terbaik bisa dibawa balik ke Indonesia? Mungkin juga tidak. Sebab, kata Pascal Kainic-seorang Prancis, konsultan pengangkatan harta karun kapal karam yang malang-melintang puluhan tahun di perairan Indonesia-lelang Stuttgart sesungguhnya sudah bocor terlebih dulu. "Saya hadir di lelang Stuttgart itu dan bertemu dengan kolega Michael Hatcher." Pascal bercerita, ia mendapatkan informasi bahwa yang dilelang sesungguhnya adalah barang sisa-sisa. "Yang baik-baik telah dijual Hatcher sendiri ke kolektor. Bahkan saya dengar Hatcher sengaja memecah beberapa keramik yang sebenarnya untuk dilelang agar harga keramik yang dijualnya sendiri itu makin tinggi."

Benar atau tidak informasi Pascal, lelang di Stuttgart itu membuktikan bahwa barang kapal karam di perairan Indonesia memukau publik Eropa. Uang pembagian lelang Stuttgart sendiri, menurut Widiati, sekitar 2 juta mark Jerman. "Itu para atasan yang tahu," katanya. Menurut Nunus, tugas tim Stuttgart hanya membawa pulang porselen pilihan. "Setelah kami pulang, mereka mentransfer uang itu ke Departemen Kelautan."

majalah tempo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar