Senin, 05 Juli 2010

Dari Gudang Menanti Lelang


Pintu baja berukuran 1 x 2 meter itu ketebalannya 20 sentimeter. Mirip pintu brankas besar. Membukanya sangat sulit. Terlihat ada dua tombol besar. Tombol itu memiliki kombinasi angka. Mula-mula harus digunakan dua kunci agar bisa memutar dua tombol tersebut. Bila kode tombol yang diputar cocok, diperlukan satu kunci lagi dengan panjang 15 sentimeter. Barulah pintu brankas bisa dibuka. Tapi itu pun Anda belum langsung bisa masuk, masih ada pintu berjeruji besi.

Itulah pintu gudang penyimpanan porselen yang dibangun Budi Prakoso, pemilik PT Tuban Oceanic Research & Recovery di kawasan Sawangan, Depok, Jawa Barat. "Pintu baja itu beratnya 800 kilogram," kata Benny, orang kepercayaan Budi yang memegang kunci gudang.

Begitu pintu terbentang dan lampu diterangkan, kita melihat sebuah ruang besar sekitar 800 meter dengan rak-rak. Udara sejuk terasa disetel dengan temperatur khusus. Di situlah sejak sembilan tahun lalu disimpan sekitar 31 ribu keramik Dinasti Yuan hasil pengangkatan Budi dari Karang Cina, perairan sekitar Selat Karimata.

Kita melihat di 80 rak susun besi dengan tinggi 3 meter dipajang rapi guci kecil sampai besar, buli-buli, mangkuk, piring, tempat bedak, celadon, cepuk tempat saus, perhiasan, atau bedak. Di antara rak ada lorong-lorong panjang. "Saya mengangkatnya selama enam bulan dengan 12 penyelam," kata Budi. Di gudang ini juga dititipkan 14 ribuan keramik dari perairan Blanakan yang diangkat PT Lautan Mas Bakti Persada pada 1999.

Tak sembarang orang diperbolehkan melihat koleksi harta karun itu. Gudang terletak di bagian belakang kawasan rumah seluas 6 hektare milik Budi. Tembok kawat berduri mengelilinginya, dengan kamar penjaga. Terasa gudang itu memenuhi standar konservasi internasional, jauh lebih representatif daripada gudang kandang kuda Pamulang, Banten, tempat menyimpan harta dari Cirebon. Gudang di Pamulang terkesan darurat.

Budi melengkapi gudangnya dengan laboratorium. Di laboratorium ini terdapat dua bak porselen putih berukuran 7 x 15 dan 8 x 15 meter untuk proses desalinasi. Juga terdapat meja menggambar dan memotret keramik yang sudah dibersihkan.

Budi mengaku mengeluarkan sekitar Rp 2 miliar untuk membangun gudang tersebut. "Saya terobsesi memiliki gudang karena barang saya pernah tidak jelas," katanya. Pada 1994 ia mengangkat keramik di perairan Tuban, Jawa Timur. Namun, karena lelang tak kunjung disahkan pemerintah, ia menyerahkan ke Panitia Nasional. Ia tak tahu bagaimana kondisi keramik temuannya. "Saya tak tahu apakah oleh pemerintah dirawat atau tidak," katanya.

Direktur Peninggalan Bawah Air Surya Helmi mengatakan, Panitia Nasional sebenarnya memiliki gudang besar di Cileungsi, Bogor. Bahkan, Surya menyatakan gudang itu sanggup menyimpan kapal karam. "Tapi aturan penggunaannya belum jelas, sehingga perusahaan tak mau menyimpan di sana," ujarnya.

Mendengar pada 2009 pemerintah mengesahkan lelang, harapan Budi untuk menjual barang temuannya timbul lagi. "Saya sudah menunggu sejak tujuh tahun lalu. Saya sangat dirugikan," kata Budi.

Nasib menunggu lelang juga dialami sejumlah perusahaan pengangkut harta karun. Harta Pulau Buaya, Kepulauan Riau, yang diangkut Tommy Soeharto melalui PT Muara Wisesa Samudera, misalnya, lama tersimpan di Sentul, Bogor. Begitu juga dengan harta laut di Karang Heluputan dan Teluk Sumpat, Kepulauan Riau, serta dari perairan Laut Jawa di utara Jepara yang diangkat PT Adikencana Salvage, kini disimpan di Kota Bintan dan Jepara. Direktur Utama Adikencana Omar Fazni mengaku sudah dua tahun lebih menunggu kejelasan lelang dari pemerintah. "Sekarang sudah mendesak sekali dilelang. Sangat jarang pengusaha bisa menunggu selama itu," katanya.

Pemburu harta asal Jerman, Fred Dooberphul, juga masih menyimpan koin-koin Spanyol dari perairan Belitung dan keramik Five Dynasties yang diangkatnya dari Karawang, di kantornya di Jalan Lodan, Jakarta. "Kalau yang Cirebon sudah dilelang, yang lainnya harus ikut dilelang segera," ujarnya.

Nyatanya, pemerintah menghentikan lelang harta karun Cirebon. Lelang-lelang lain dikhawatirkan tak terjadi. Ini membuat para pengusaha itu berkerut kening. "Pemerintah bisa disomasi. Kegagalan pemerintah karena lelangnya tak profesional. Pemerintah seharusnya menggandeng Sotheby 's atau Christie's," kata Budi Prakoso.

majalah tempo, Pramono, Seno Joko Suyono

Tidak ada komentar:

Posting Komentar