Minggu, 15 Agustus 2010

Hatcher dan Beking Maut

Michael Hatcher muncul lagi dalam urusan bangkai kapal. Kali ini dia menggandeng mantan petinggi militer dalam bisnis harta karunnya.
Isi ruangan terlihat mulai dikemasi malam itu. Tumpukan buku dan disket sudah disusun di meja. "Saya sudah tak punya hak lagi di kamar ini," kata Syafri Burhanudin, Direktur Riset dan Eksplorasi Sumber Daya Nonhayati Laut, Departemen Perikanan dan Kelautan, pekan lalu. Beberapa hari sebelumnya, dua jabatannya sekaligus dicopot, yakni sebagai Direktur dan Ketua Tim Teknis Panitia Nasional Benda Muatan Asal Kapal Tenggelam (Pannas), yang mengurus izin pengangkatan harta karun di laut.

Apa kesalahan ahli kelautan dari Universitas Hasanuddin Makassar itu? Menurut bisik-bisik di Departemen Perikanan dan Kelautan, Syafri tergusur karena menghalangi pengangkatan bangkai kapal yang tampaknya didukung sejumlah mantan petinggi tentara. Para mantan petinggi ini adalah satu angkatan Menteri Freddy Numberi di Angkatan Laut.

Bagi Syafri, sikap kerasnya mempunyai dasar. Perusahaan para mantan laksamana itu menggaet Michael Hatcher, 64 tahun, yang beberapa kali "menipu" pemerintah. Kasus pertama Hatcher dengan pemerintah terjadi dalam kasus pengangkatan bangkai kapal Gerdelmalsen, 1985. Pemerintah Indonesia mengaku sebagai pemilik sah reruntuk kapal dagang Belanda tersebut karena ia karam di perairan Karang Heloputan, di arah tenggara Pulau Bintan. Hatcher mengklaim bahwa pengangkatannya berada di perairan internasional. Izin pengangkatan yang diperolehnya pun dari pemerintah Belanda. Untuk menegasikan tuntutan Indonesia, muatan Gerdemalsen pun disulap namanya menjadi Nanking Cargo. Dari nilai muatan US$ 17,5 juta ini, Indonesia tak kecipratan satu sen pun. Dosa kedua, pada 1999, dalam kasus kapal Teksing. Pengangkatan di perairan Selat Gelasa Bangka itu dilakoni dengan dokumen palsu.

Tampaknya Indonesia adalah ladang harta karun bagi pria kelahiran Inggris yang berstatus warga negara Australia ini. Kekayaan dan ketenaran diperolehnya dari lautan biru khatulistiwa. Karenanya, dengan berbagai cara, ia mencoba kembali.

Pada awal Januari 2001, Michael Hatcher diketahui kembali beroperasi di perairan Tidore-Ternate, digandeng oleh PT Tuban Oceanic Research and Recovery. Kegiatan ini di luar kontrol Panitia Nasional, karena ketika pihak TORR mengajukan permohonan security clearance, nama Hatcher tidak ada. Belakangan diketahui terjadi pengangkatan. Namun, ketika diributkaan, PT Tuban membuat pernyataan kepada Dirjen Imigrasi, Juni 2002, bahwa mereka bukan penjamin Michael Hatcher. Pengangkatan itu, katanya, tanpa sepengetahuan mereka. Oleh Pannas, pernyataan PT Tuban diduga hanya akal-akalan.

Tiba-tiba, Oktober 2004, PT Marindo Alam Internusa, sebuah perusahaan pengangkatan baru, mengajukan permohonan izin survei ke Panitia Nasional. Di situ tertulis nama Michael Hatcher sebagai pemimpin survei dilampiri berbagai macam dokumen kerja. Permintaan ini mengejutkan, karena di belakang Marindo ada setumpuk nama pensiunan laksamana, bahkan seorang mantan kepala staf AL. Sementara itu, siapa pun tahu, Hatcher masuk daftar hitam di Indonesia. Bagaimana mungkin, perwira yang dulu memburu Hatcher kini bersekutu dengan buronnya.

Direktur Utama Marindo, Laksamana Muda (Purn) Heribertus Sudiro, punya alasan sendiri. Menurut Sudiro, seperti tertulis dalam suratnya ke Panitia Nasional, Hatcher sudah mendapat lampu hijau dari Menteri Kelautan Rokhim Dahuri (saat itu) ketika nama itu disodorkan oleh Dewan Komisaris perusahaan tersebut. Selain itu, tak ada bukti warga negara Australia itu terkena cekal. Bahkan Hatcher sudah punya izin kerja. Buktinya, Hatcher sama sekali tidak mendapat kesulitan melakukan survei di perairan Jepara.

Namun, ketika tim Panitia Nasional melakukan pengecekan ulang, ditemukan dokumen kerja Hatcher adalah dokumen bodong. Izin yang diakui atas nama Hatcher, setelah diperiksa di Departemen Tenaga Kerja, ternyata milik orang lain. Alamat Marindo juga fiktif. Dalam dokumen Hatcher, perusahaan itu mencantumkan alamat Jalan Tulodong Atas Senayan. Padahal, alamat asli Marindo adalah Kelapa Gading. Rokhmin juga mengelak telah memberi lampu hijau. "Saya sudah lupa," katanya.

Belakangan, setelah ribut-ribut di Departemen Perikanan dan Kelautan, yang menyebabkan Syafri terpental dari kursinya, Sudiro berbalik sikap. "Saya tidak kenal Michael Hatcher. Nama itu saya tidak tahu," katanya pada Edy Can dari Tempo. Ia juga membantah perusahaannya bergerak di bisnis pengangkatan harta karun. "Bisnis saya di bidang perikanan," ujarnya.

Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi selaku Ketua Panitia Nasional menyatakan sudah memberi masukan pada koleganya di Marindo Alam untuk tak mempekerjakan Hatcher. "Jangan sampai dia menyelam di Indonesia. Kalau sebagai konsultan sih bisa," katanya. Itu pun, kata Freddy, Hatcher tak bisa berkantor di Jakarta. "Silakan saja di luar. Kan dia (Hatcher) punya kantor di Singapura."

Hatcher sendiri tak diketahui keberadaannya. Tapi kepada seorang kawan yang pernah membantunya mengangkat kapal Teksing ia pernah berkorespondensi. "Saya berusaha untuk secara legal mendapatkan izin ke Indonesia. Saya ingin kembali ke Indonesia," katanya.

Arif A. Kuswardono, Edy Can, Indra Darmawan

1 komentar:

  1. ulasan yang sangat bagus pak,
    profil tokoh2 yang mengeruk harta dari kedalaman laut nusantara harus terus diawasi,nyatanya blog bapak dibaca oleh pendukung mereka.
    teruskan blog ini pak..!!

    BalasHapus